California, Studi terkini menemukan anak autis banyak dilahirkan dari pasangan yang berpendidikan tinggi dan sudah tua. Peneliti menggunakan data sekitar 2,5 juta kelahiran di California selama 5 tahun.
Dan ternyata ditemukan sekelompok anak autis pada daerah dimana rata-rata penduduknya berpendidikan tinggi. Orang tua anak-anak autis tersebut ternyata kebanyakan berlatar belakang pendidikan lebih tinggi (di atas S1) dibanding orang tua di daerah yang tidak terdapat anak autis.
"Studi ini cocok dengan apa yang kami perkirakan sebelumnya, yaitu pasangan orang tua yang berpendidikan tinggi cenderung menghasilkan anak autis," ujar Karla Van Meter, epidemiolog dari Sonoma County Department of Public Health University of California seperti dilansir Healthday, Rabu (6/1/2010).
Suami istri yang sudah berumur tua saat memiliki anak juga dilaporkan lebih banyak mempunyai anak autis. Tapi faktor pendidikan jauh lebih besar risikonya dalam menghasilkan anak autis.
"Tidak ada yang benar-benar tahu penyebabnya apa. Tapi mungkin faktor genetik berperan. Mungkin juga karena orang tua berpendidikan tinggi memiliki harapan yang terlalu berlebih pada anaknya sehingga psikologisnya terganggu atau karena mereka lebih banyak terpapar dengan bahan kimia di rumahnya. Semuanya bisa saja terjadi, tapi kami masih meneliti penyebab pastinya," kata Van Meter.
Namun kabar baiknya adalah, orang tua yang berpendidikan tinggi lebih tahu tentang penyakit autis dan lebih baik dalam menangani anaknya yang autis.
"Penyakit autis sudah menembus batas demografis dan sosial ekonomi. Kita bisa melihatnya di lingkungan sekitar dimana pasangan orang tua yang pintar dan berpendidikan tinggi justru lebih banyak melahirkan anak autis," kata Lee Grossman dari Autism Society of America.
Jumlah anak autis memang meningkat akhir-akhir ini. Hingga Desember 2009, Centers for Disease Control and Prevention mencatat 1 dari 110 anak di Amerika terdiagnosa autis. Faktor genetik dan cemaran bahan kimia masih menjadi penyebab utamanya.
Nurul Ulfah - detikHealth
Kamis, 29 Maret 2012
etika dalam TSI
Didalam ilmu Teknologi Sistem Informasi (TSI) juga ada etikanya.
Dengan adanya etika tidak langsung dapat membuat manusia menjadi lebih
baik, melainkan etika merupakan sarana untuk mendapatkan orientasi yang
lebih baik untuk menghadapi moralitas yang membingungkan dalam kehidupan
bermasyarakat.
Etika dan TSI sangat berkaitan satu dengan lainnya sehingga tidak dapat dipisahkan. Etika dalam TSI misalnya:
- sikap terhadap sesama, dalam TSI dapat ditunjukan dengan menghargai
tulisan hasil karya orang lain dengan mencantumkan sumber ataupun link
yang berkaitan apabila kita menggunakan karyanya.
Kapan kita gunakan Etika TSI? Kapan pun saat kita mengambil informasi
yang telah ada sebelumnya. Dan biasanya Etika TSI berlaku secara tidak
langsung di dalam dunia maya/internet. Siapa yang biasanya dikenakan
Etika TSI? Biasanya yang dikenakan Etika TSI adalah seseorang yang biasa
memberikan sumber informasi dan juga pengguna IT ataupun juga dapat
seorang penulis yang mengutip suatu informasi dari penulis lain.
Etika
& Profesionalisme TSI dibutuhkan agar mampu memetakan permasalahan
yang timbul akibat penggunaan teknologi informasi, menginvestasikan dan
mendefinisikan etika dalam teknologi informasi serta agar mampu
menemukan masalah dalam penerapan etika TSI.
Etika
& Profesionalisme TSI tidak hanya digunakan saat menjalankan sebuah
proyek, namun digunakan pada setiap saat pada waktu yang tepat karena
pertanggungjawaban etika dan profesionalisme harus nyata.
Etika
& Profesionalisme TSI biasa dilakukan oleh para pekerja dalam
bidang teknologi informasi, yang secara umum dibagi menjadi 3 kelompok
yaitu :
· Sistem analis, seperti Programmer, Web Designer dan Web Programmer
· Orang yang bergelut dengan perangkat keras (hardware), seperti Techinal Engineer dan Networking Engineer
· Orang yang berkecimpung dalam operasional sistem informasi, seperti EDP Operator dan System Administrator.
Langganan:
Postingan (Atom)